![]() |
| inflasi global |
Tarif Makin Panas, Risiko Global Meningkat
Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas. Pada April 2025, pemerintah China resmi menaikkan tarif impor hingga 125% terhadap lebih dari 200 produk asal AS, mulai dari kendaraan listrik, semikonduktor, hingga produk agrikultur strategis. Langkah ini merupakan respons terhadap kebijakan dagang era Trump yang masih dipertahankan hingga kini, bahkan diperluas dalam kampanye 2024 yang mengedepankan "economic nationalism".
Tarif ini bukan sekadar angka—ia membawa implikasi luas ke pasar global, rantai pasok dunia, dan strategi bisnis internasional. Tapi untuk memahami seberapa serius kondisi ini, kita harus mundur sedikit ke awal mula konflik ini.
1. Asal Mula Perang Dagang AS–China
Perang dagang secara formal dimulai pada Maret 2018, saat Presiden Donald Trump menerapkan tarif 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium. Alasannya: “melindungi industri dalam negeri dari praktik tidak adil China.” Namun, tindakan ini memicu serangkaian balasan dari Beijing yang menargetkan sektor agrikultur AS, terutama kedelai, jagung, dan daging babi—komoditas penting bagi pemilih konservatif di Amerika Tengah.
Sepanjang 2018–2019, kedua negara saling berbalas tarif dengan nilai mencapai ratusan miliar dolar. Perjanjian dagang “fase satu” pada Januari 2020 sempat meredakan ketegangan, namun implementasinya mandek karena pandemi COVID-19.
“Perjanjian dagang fase satu gagal total. China hanya memenuhi 57% dari komitmen pembeliannya.” – Peterson Institute for International Economics, 2021.
Ketegangan tetap berlanjut hingga kini, bahkan saat kepemimpinan berganti.
2. 12 Update Terbaru Perang Dagang (2024–2025)
1. Tarif 125% Resmi Berlaku (April 2025)
China mengenakan tarif tinggi terhadap produk asal AS, terutama yang terkait dengan teknologi dan energi bersih. Mobil listrik buatan Tesla dan semikonduktor dari Intel jadi sasaran utama.
2. Washington Ancang-Ancang Balas Lagi
Pemerintahan AS melalui Kantor Perwakilan Dagang (USTR) menyatakan sedang mengevaluasi “tindakan proporsional” terhadap langkah China. Retorika keras kembali muncul dalam kongres.
3. Nilai Tukar Yuan Menguat Tajam
Reaksi pasar cukup mengejutkan. Yuan menguat karena ekspektasi bahwa China akan memperkuat konsumsi domestik dan mengurangi ketergantungan pada ekspor AS.
4. Pasar Saham Global Terkoreksi
Indeks S&P 500 turun 2,3% dalam sehari. Nasdaq anjlok 3,1% karena sektor teknologi ketar-ketir.
5. Lonjakan Harga Komoditas
Harga kedelai dan jagung global naik 8% dalam dua minggu terakhir. China mulai mencari sumber alternatif dari Brasil dan Argentina.
6. Kinerja Perdagangan AS Menurun Tajam
Neraca dagang AS dengan China kembali defisit besar setelah sempat menurun pada 2023.
7. Vietnam dan India Naik Daun
Investor asing mulai mengalihkan produksi ke Vietnam, India, dan Meksiko. Rantai pasok mengalami relokasi cepat.
8. WTO Dilibatkan Kembali
AS mengajukan keluhan resmi ke WTO, meski efektivitas lembaga ini terus dipertanyakan setelah sempat dibekukan fungsinya oleh AS sendiri di era Trump.
9. Dunia Usaha AS Mendesak Dialog Baru
Kamar Dagang AS meminta Gedung Putih membuka jalur diplomasi karena tekanan terhadap eksportir meningkat.
10. Aliansi Ekonomi China–BRICS Menguat
China menandatangani perjanjian dagang preferensial dengan negara BRICS seperti Brasil dan Afrika Selatan, memperkuat blok anti-hegemoni dolar.
11. Efek ke Industri Teknologi AS
Nvidia dan AMD mencatatkan penurunan penjualan di Asia Timur. Pembatasan ekspor teknologi memperburuk situasi.
12. Trump Kampanye dengan Isu “Kemenangan Ekonomi”
Dalam kampanye pemilu 2024, Trump membanggakan “tekanan maksimal” ke China sebagai alat negosiasi jangka panjang, meski data menunjukkan kerugian signifikan ke sektor ekspor AS.
3. Tabel – Timeline Perang Dagang (2018–2025)
| Tahun | Kebijakan AS | Respons China | Dampak Utama |
|---|---|---|---|
| 2018 | Tarif baja & aluminium | Tarif kedelai & otomotif | Ketegangan dimulai |
| 2019 | Tarif barang senilai $200 miliar | Tarif elektronik & bahan baku | Perang tarif meluas |
| 2020 | Perjanjian Fase Satu | Komitmen pembelian besar | Gagal akibat pandemi |
| 2024 | Tarif EV & semikonduktor | Tarif 125% produk AS | Eskalasi besar, pasar terguncang |
4. Dampak Strategis ke Ekonomi Global
Konflik dagang ini bukan lagi sekadar “duel tarif” antara dua raksasa. Implikasinya kini menyentuh:
- Rantai pasok global: Diversifikasi keluar dari China makin cepat.
- Inflasi dunia: Barang jadi lebih mahal akibat biaya produksi dan logistik.
- Ketidakpastian investasi: Investor menahan ekspansi lintas negara karena risiko geopolitik tinggi.
- Aliansi baru: Blok ekonomi seperti BRICS dan RCEP makin relevan sebagai tandingan Barat.
5. Siapa Diuntungkan, Siapa Dirugikan?
Tak ada pemenang sejati dalam perang dagang yang berlarut-larut.
- Trump dapat modal politik dari retorika keras, tapi pelaku bisnis AS menanggung beban tarif.
- China kehilangan sebagian ekspor, tapi sekaligus memperkuat kemandirian industri dan aliansi non-Barat.
- Dunia usaha harus menavigasi ketidakpastian, sementara negara berkembang seperti Vietnam dan India justru memetik peluang
6. Saatnya Realisme Ekonomi, Bukan Nasionalisme Buta
Konflik dagang ini adalah pengingat bahwa dunia sudah tidak bisa lagi berpikir secara zero-sum. Ekonomi global saling terhubung, dan kebijakan proteksionis berlebihan hanya akan memperlambat pemulihan.
Bagi pelaku bisnis dan investor, penting untuk terus memantau perkembangan geopolitik ini secara objektif—bukan hanya lewat headline politik, tapi juga data riil, dinamika pasar, dan tren kebijakan jangka panjang.
“Dalam ekonomi global, yang paling adaptif yang bertahan—bukan yang paling agresif.”
Gabung ke newsletter mingguan kami untuk insight terbaru seputar geopolitik, ekonomi global, dan strategi bisnis lintas negara. KLIK DISINI
